SELAMAT DATANG DI SMAN 1 TELUK KUANTAN

SEKAPUR SIRIH

SimBale:


juhernaidy

SEKAPUR SIRIH


Assalamualaikum Wr. Wb.

Selamat datang di Blogpot SMAN 1 Teluk Kuantan Kab.Kuantan Singingi-Riau. Blogspot ini kami buat sebagai wujud kepedulian terhadap almamater yang ingin mengetahui perkembangan SMAN 1 dan juga sebagai wujud komitmen kami terhadap kepedulian teknologi informasi dalam dunia pendidikan malalui internet. Melalui Blogspot ini kami juga akan memberikan informasi-informasi sekitar sekolah, tenaga pendidik, siswa, prestasi dan fasilitas yang tersedia di SMAN 1 Teluk Kuantan . Sejalan dengan peranan meningkatnya teknologi informasi dalam dunia pendidikan maka pengelolaan dan pembelajaran di sekolah dengan dukungan teknologi sangat penting dilakukan. Hal ini dikarenakan pada kurikulum 2013 yang berbasis pada kompetensi. Disitu sudah dicanangkan sistem pembelajaran teknologi informasi dalam program intra kurikuler dan hal ini harus dilaksanakan setiap sekolah.


Wassalamualikum Wr. Wb.


Kepala Sekolah SMAN 1 Teluk Kuantan




SAPRIANTO ELDI,S.Pd.I
NIP.197612172009031001

Senin, 22 Juli 2013

Melahirkan dan Menciptakan “Kebudayaan” di Bulan Ramadhan

Kebudayaan, sederhananya tertangkap oleh saya sebagai sebuah rutinitas berkelanjutan, yang muncul dilatarbelakangi tradisi dari masyarakat setempat. Bisa saja tradisi yang terus-menerus dilakukan suatu masyarakat tertentu, pada masanya dikenali sebagai kebudayaan masyarakat di masa depan. Negara kita terkenal dengan heteregonitas kebudayaannya, beraneka-ragam tradisi yang melatar-belakanginya, juga bagian dari identitas bangsa; Indonesia.
Kebhinekaan Tunggal Ika, menjadi tak terbantah. Kita mengenal kebudayaan Rantau Kuantan, Sumbar, jambi ,Batak dan lain sebagainya. Berbeda-beda pula tradisi yang melekat di antara hiruk-pikuk keindahan suku, ras dan agamanya. Tentu, hal tersebut menjadi “mutiara” kebudayaan yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang dihuni penganut agama Islam terbesar di dunia. Tentu kita patut bersyukur karenanya.
Sebagai bangsa yang sedang dan masih merangkak menuju gerbang kemajuan, Indonesia tak luput dari serbuan arus modernisasi, globalisasi bahkan gempuran ideologi. Hal itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Inilah yang disebut sunnatullah, mau tidak mau, kita harus menghadapinya. Lantas bagaimana mungkin, dulu, ketika agama Islam masuk ke Indonesia begitu elastis tanpa mengurangi substansi nilai kebudayaan yang teramat eksotis. Belakangan pada fase perkembangan, wajah Islam mendekati teror yang maha menakutkan. Jika benar demikian, apa sebabnya?
Mari kita tengok ke belakang sebentar, menapak-tilasi proses sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Bagaimana sebuah ajaran luhur didekatkan dengan cara-cara yang lembut, penuh kasih-sayang tanpa harus melakukan pembantaian. Bagaimana para Wali Allah menyusupkan dengan halus ajaran Islam ke sektor kebudayaan, kesenian, ekonomi serta adat-istiadat masyarakat dan lain sebagainya, yang notebene sebelumnya pemeluk agama Hindu, Budha serta Kepercayaan dan sejenisnya.
Bagaimana para delegasi Allah berdakwah melalui tahapan-tahapan yang diajarkan oleh Kitab Suci. Dengan hikmah, perkataan yang baik dan jika memang harus melalui sebuah perdebatan, maka dilakukan perdebatan yang baik pula. Pun jika dihadapakan oleh sebuah situasi yang menghendaki keterpaksaan (pertempuran), diwajibkan untuk bertahan-melawan. Namun Islam tidak mengajarkan permulaan yang menghinakan (memulai peperangan).
Dan bagaimana para Ulama (di Indonesia) hingga kini mengembangkan metode dakwah yang semakin elegan; Pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang tidak saja menguatkan pondasi akan tetapi membangun benteng ketauhidan, keimanan serta keislaman. Pesantren-pesantren pun menjamur seantero nusantara karena kearifannya. Namun perlu diingat, pesantren juga tak luput dari incaran kaum ekstrimis. Tak lain tujuannya, membabat-habis (baca: menghentikan) generasi-generasi pewaris Nabi. Menyeret para generasi untuk memahami ajaran Islam secara tekstualis, formalis, instan dan tak mengenal kelembutan.
Ada istilah, mereka (orang-orang Islam Indonesia) yang kagetan terhadap segala perubahan jagat raya dilaqobi dengan Islam Anyaran. Mungkin terjemahan bebasnya begini; orang Islam yang baru mengenal Islam. Coba kita amati, betapa dahsyatnya pengaruh agama terhadap manusia. Baru mengenal saja, sudah menularkan perasaan bangga. Apalagi jika menjadi pemeluknya. Sebuah analogi; jika kita memeluk sesuatu, sudah tentu kita harus mengenalnya lebih dulu. Kita tahu bahwa ada sebatang kayu yang terbakar, apakah kita akan serta-merta memeluk batang kayu yang sedang terbakar itu? Tentu saja akal-sehat kita akan memprosesnya; memeluk batang kayu yang terbakar api atau tidak sama sekali. Menyikapi hal ini, kembali pada sebuah konsekuensi.
Lain halnya jika kita tahu sebuah bantal. Pada situasi tertentu, kita tanpa sadar sering memeluknya (saat tidur). Bantal menciptakan rasa  salah-satunya hangat. Kita nyaman memeluk bantal. Karena bantal tidak berbahaya, jauh lebih aman ketimbang kayu yang terbakar api. Pada konteks ini, sebagai pemeluk agama Islam tentu tidak hanya sekedar mengenal Islam. Dari kulitnya saja kita dapat menerjemahkan bahwa Islam itu mendamaikan. Lalu mengapa bagi yang lain terasa menakutkan?
Apakah kemunculan Islam bertujuan untuk merusak, menindas, menteror dan menakut-nakuti orang yang belum mengerti? Lalu mengapa bangsa Indonesia lambat-laun –seperti—kehilangan watak keramah-tamahannya? Bukankah keramah-tamahan itu adalah bagian dari Islam? Bukankah kebudayaan itu akumulasi dari kebaikan-kebaikan yang bersifat falsafi? Bukankah islamisasi di Indonesia pendekatannya hampir serupa dengan apa yang dilakukan Nabi? Apa yang salah dengan wajah Islam saat ini?
Ironisnya, di bulan suci Ramadhan, perlahan-lahan kita seperti dipaksa untuk mentoleransi sebuah cikal-bakal “kebudayaan” yang entah dari mana asal-muasalnya. Bergerombol orang-orang yang mengaku beragama Islam, menyerang tempat hiburan malam dengan dalih menjaga kemuliaan bulan Ramadhan. Mereka merusak tempat orang mencari nafkah, meneriakkan kalimat takbir sebagai propaganda penyerbuan, mengintimidasi orang-orang (mungkin saja sesama umat Islam) agar menghormati agama Islam.
Jika pun gerombolan itu berdalih sedang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, lantaran mengendus tempat-tempat yang diklaim tidak bermoral, apakah seperti itu cara Nahi-Munkar yang diajarkan agama Islam, terlebih dakwah yang diajarkan Nabi? Pernahkah kita membaca sejarah, dakwah atau syiar Nabi dengan cara-cara seperti gerombolan tadi? Peristiwa Fathul Makkah saja, kalimat yang digelorakan pasukan Nabi bukanlah takbir. Kemudian (ini yang terpenting), Nabi menghormati kaum yang belum bersedia memeluk agama Islam dengan tetap melindunginya. Islam mendatangi Makkah dengan kebijakan, kelembutan dan kedamaian. Tidak dengan bom bunuh diri, ancaman, kekerasan ataupun penindasan.
Kita pun –seolah-olah—akhirnya menjadi latah; sweeping, intimidasi, teror dan tindakan pemaksaan untuk menghormati bulan suci Ramadhan menjadi sebuah kebudayaan. Kebudayaan yang diciptakan sebagai legalisasi kebiasaan yang sangat arogan. Kebudayaan yang diam-diam dilahirkan –sesungguhnya—untuk merusak substansi ajaran Islam. Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, hilang sudah nilai-nilai ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Lebih memprihatinkan lagi, propaganda amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan sebagian gerombolan itu tidak pernah sekalipun menyentuh wilayah kekuasaan (pemerintah). Padahal, pemerintah justru yang mampu mengendalikan sirkulasi dinamika tadi. Mungkin, ini harapan saya pribadi, jika amar ma’ruf nahi munkar ditujukan kepada para pejabat korup, barangkali dapat ditoleransi. Misal, melakukan sweeping dan memberikan sanksi moral terhadap pejabat atau wakil rakyat yang istiqomah mempraktekkan amaliah suap dan korupsi. Menegaskan aparat hukum untuk melaksanakan supremasi hukum tanpa tebang-pilih. Namun secara naluri, saya memilih cara yang lebih manusiawi.
Maka di kesempatan Ramadhan ini, sebaiknya gerombolan yang mengaku beragama Islam yang gemar melakukan dakwah kekerasan, pemaksaan dan perusakan, mulai belajar bertafakur. Sehingga tidak bertindak ngawur dan tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara melantur. Belajar mengenali lebih dulu dasar-dasar metodolgi dakwah dengan sungguh-sungguh. Belajar menciptakan kebiasaan atau perilaku (dalam tahap tertentu bisa saja nanti dianggap sebagai kebudayaan) yang Islam rahmatan, agar tidak kumatan. Masing-masing belajar bercermin diri sebelum bengak-bengok takbir dan mengintimidasi.
Sebelum menuntaskan, saya secara tak sengaja menemukan kalimat yang luar biasa, nasehat dari Almaghfurlah Gus Dur Rohimahullah. Sebagai permulaan dari proses belajar beramar ma’ruf dan bernahi munkar di bulan suci Ramadhan, tidak ada salahnya gerombolan islami tadi belajar ngaji dan segera mempraktekkan nasehat ini; “jika kita merasa muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.”

0 comments:

Posting Komentar