SELAMAT DATANG DI SMAN 1 TELUK KUANTAN

SEKAPUR SIRIH

SimBale:


juhernaidy

SEKAPUR SIRIH


Assalamualaikum Wr. Wb.

Selamat datang di Blogpot SMAN 1 Teluk Kuantan Kab.Kuantan Singingi-Riau. Blogspot ini kami buat sebagai wujud kepedulian terhadap almamater yang ingin mengetahui perkembangan SMAN 1 dan juga sebagai wujud komitmen kami terhadap kepedulian teknologi informasi dalam dunia pendidikan malalui internet. Melalui Blogspot ini kami juga akan memberikan informasi-informasi sekitar sekolah, tenaga pendidik, siswa, prestasi dan fasilitas yang tersedia di SMAN 1 Teluk Kuantan . Sejalan dengan peranan meningkatnya teknologi informasi dalam dunia pendidikan maka pengelolaan dan pembelajaran di sekolah dengan dukungan teknologi sangat penting dilakukan. Hal ini dikarenakan pada kurikulum 2013 yang berbasis pada kompetensi. Disitu sudah dicanangkan sistem pembelajaran teknologi informasi dalam program intra kurikuler dan hal ini harus dilaksanakan setiap sekolah.


Wassalamualikum Wr. Wb.


Kepala Sekolah SMAN 1 Teluk Kuantan




SAPRIANTO ELDI,S.Pd.I
NIP.197612172009031001

Jumat, 26 Juli 2013

Mayoritas Guru Riau Belum S1

Belasan ribu guru berpendidikan non-S1 yang mengajar di berbagai jenjang pendidikan sekolah di Riau terancam dilarang mengajar.

Hal ini menyusul amanah Undang-Undang Nomor: 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Mayoritas kabupaten/kota di Riau, masih banyak guru masih berpendidikan di bawah S1. Bahkan di Kabupaten Indragiri Hilir, dari lima ribuan guru, baru sekitar 50 persen yang sudah berpendidikan S1. Umumnya guru tersebut merupakan guru sekolah dasar (SD).

Ini dinyatakan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Inhil  H Fauzar.

‘’Kalau dihitung-hitung cukup banyak sekali. Dari lima ribu tenaga guru kita 50 persenya belum S1,’’ terang Fauzar, Jumat (26/7) di Tembilahan.

Dari sekitar dua ribu lebih tenaga guru yang belum mencapai jenjang pendidikan S1 itu, merupakan tenaga guru yang menamatkan pendidikan mulai dari SPG, D1 sampai D3. Dari sisi usia ada yang sudah mendekati masa pensiun.

Namun mereka masih terbilang produktif dalam mengajar.

Di Kuansing guru berjumlah 7.084 namun baru menyelesaikan S1 berkisar 2.827 orang, sedangkan yang belum menyelesaikan S1 berkisar 4.257.

Namun Bupati Kuantan Singingi H Sukarmis menyatakan komitmennya untuk memajukan dunia pendidikan di negeri jalur ini. Wujud nyata dari semua itu adalah dengan mewajibkan seluruh guru di Kuansing berpendidikan S1.

‘’Seluruh guru di Kuansing tidak ada lagi yang tidak sarjana, kalau masih ada harus kuliah, karena seluruh guru sudah lama kita wajibkan harus sarjana. Hal ini tentunya sangat baik demi kemajuan pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang handal,’’ kata Bupati Sukarmis, Jumat (26/7) kemarin.

Kemudian di Kabupaten Kepulauan Meranti, dari 4.000-an, jumlah guru yang bertugas memberikan pendidikan kepada anak-anak di Meranti, baru sebanyak 1.893 orang yang S1 sedangkan 2.107 belum.

Seperti yang diakui Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kepulauan Meranti, Rismawardi menjawab Riau Pos, Kamis (26/7). Dengan kondisi itu juga pihak Disdikbud terus menghimbau kepada seluruh guru yang masih jenjang pendidikan SMP dan SMA.

‘’Jumlah keseluruhan guru kita lebih 4.000 orang. Namun yang berpendidikan S1 baru sebanyak 1.893 orang,’’ ujarnya.

Ditegaskan Sekretaris Disdikbud Kepulauan Meranti, kalau pemberlakuan guru berpendidikan SMA atau SMP dijadikan tenaga administrasi, sangat berat untuk daerah.

Pasalnya, sebagai kabupaten pemekaran baru sangat kekurangan tenaga guru untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan nantinya.

Sedangkan di Kabupaten Inhu terdapat 3.518 guru. Namun baru 1.274 yang sudah berpendidikan S1. Sisanya 2.271 belum berpendidikan S1. Sementara pada tahun 2015 mendatang setiap guru yang tidak berpendidikan S1 akan dialihtugaskan sebagai pegawai umum atau setingkat Tata Usaha (TU).

Dengan kondisi itu juga, di Kabupaten Inhu terdapat beberapa orang harus dicabutnya tunjangan fungsional sebagai guru.

‘’Memang ada edaran dari Kemendiknas agar guru berpendidikan S1 dan apabila pada tahun 2015 bagi yang belum berpendidikan S1 tidak dibayarkan tunjangan sebagai guru,’’ ujar Kadisdik Inhu Ujang Sudrajat SP MSi ketika dikonfirmasi Riau Pos, Jumat (26/7).

Pemerintah Kabupaten Inhu melalui Disdik terus berupaya memberikan sejumlah program kepada guru yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Salah satunya program beasiswa.

Hal itu tidak lain dalam rangka untuk peningkatan penghasilan melalui tunjungan yang hanya diberikan kepada guru yang berpendidikan S1.

‘’Memang sebagian guru di luar yang akan memasuki masa pensiun sudah mengikuti program pendidikan S1 dari berbagai universitas,’’ tuturnya.

Bahkan Bupati Inhu Yopi Arianto SE mengimbau kepada para guru khususnya kepala sekolah agar mengikuti program pendidikan S1. Karena pada umum Kepsek itu berada di tingkat Sekolah Dasar (SD).

‘’Jangan dilihat dulu jabatan sebagai kepala sekolah tapi ingat juga latar belakang pendidikan,’’ ujarnya.

Kemudian, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Rokan Hulu terus memotivasi para guru maupun tenaga pendidik mulai dari jenjang TK, SD, SLTP, SLTA se Rokan Hulu agar meningkatkan kualitas pendidikan dan SDM-nya dengan mengikuti pendidikan latihan maupun kuliah ke jenjang perguruan yang lebih tinggi. Kepala Disdikpora Rohul, HM Zen SPd MMPd kepada Riau Pos, Jumat (26/7) menyebutkan, saat ini jumlah guru di Rokan Hulu yang belum memiliki ijazah S1 sekitar 750 orang, tersebar di 16 kecamatan yang ada di Rohul.

Di Kabupetan Siak, hingga saat ini jumlah guru di Siak yang belum berpendidikan S1 berjumlah 125 orang.

Guru tersebut, hanya mengajar di tingkat Sekolah Dasar (SD). Menurut Kadisdikbud Siak Drs H Kadri Yafiz MPd, segera di-S1-kan, melalui program kerja sama yang dilakukan Disdikbud Siak dengan FKIP Unri.


Sunber:PEKANBARU RP

NUZUL AL-QURAN

 

Segala puji bagi Allah yang menggerakkan hati dan jiwa manusia menuntut ilmu yang akan menghampirkan diri seorang hamba yang hina kepada Zat Yang Menciptakannya. Selawat dan salam buat Rasul Muhammad SAW ... berselawatlah ke atasnya... yang tidak pernah alpa dan putus asa membimbing ummah sehingga kini agar menuruti jejak ke redha Ilahi. Serta buat ahli keluarga baginda yang suci dan mulia dan para sahabat yang menjadi tokoh-tokoh agung dan pemugar semangat perjuangan Islam sehingga Kiamat.

Peristiwa nuzul al-Quran menjadi satu rekaman sejarah dalam kehidupan Nabi SAW hingga seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada kita hari ini. Peristiwa Nuzul al-Quran berlaku pada malam Jumaat, 17 Ramadan, tahun ke-41 daripada keputeraan Nabi Muhamad SAW. Perkataan ‘Nuzul’ bererti turun atau berpindah dari atas ke bawah. Bila disebut bahwa al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi SAW maka ianya memberi makna terlalu besar kepada umat Islam terutama yang serius memikirkan rahsia al-Quran. 

‘Al-Quran’ bererti bacaan atau himpunan. Di dalamnya terhimpun ayat yang menjelaskan pelbagai perkara meliputi soal tauhid, ibadat, jinayat, muamalat, sains, teknologi dan sebagainya. Kalimah al-Quran, sering dicantumkan dengan rangkai kata ‘al-Quran mukjizat akhir zaman’ atau ‘al-Quran yang mempunyai mukjizat’. Malah inilah sebenarnya kelebihan al-Quran tidak ada satu perkara pun yang dicuaikan atau tertinggal di dalam al-Quran. Dengan lain perkataan segalanya terdapat di dalam al-Quran. 

[Al-An’am : 38] 

Firman Allah: " Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam kitab Al-Quran ini; kemudian mereka semuanya akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan). "
[Al-An’am : 38] 

Al-Quran adalah hidayah, rahmat, syifa, nur, furqan dan pemberi penjelasan bagi manusia. Segala isi kandungan Al-Quran itu benar. Al-Quran juga dikenali sebagai Al-Nur bererti cahaya yang menerangi, Al-Furqan bererti yang dapat membezakan di antara yang hak dan batil dan al-Zikr pula bermaksud yang memberi peringatan. 

[Surat Al-`Alaq : 1~5] 

Dalam sejarah kehidupan Nabi SAW ayat Al-Quran yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibrail ialah lima ayat pertama daripada surah Al-‘Alaq maksudnya: " Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk), Ia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, - Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan, - Ia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. "
[Surat Al-`Alaq : 1~5] 

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, pembawa amanat yang jujur dan tanggungjawab. Al-Quran yang dibawanya mengandungi undang-undang dan petunjuk bagi umat Islam dalam mengatur tujuan hidup dan kehidupan sejagat. 

[Surah Al-Baqarah ; 185]

Firman Allah bermaksud: " (Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah ia berpuasa bulan itu; dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah ia berbuka, Kemudian wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan Ia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran. Dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan), dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjukNya, dan supaya kamu bersyukur. "
[Surah Al-Baqarah ; 185] 

Apakah al-Quran? ‘Quran’ menurut pendapat yang paling kuat seperti dikemukakan Dr Subhi Al Salih bererti ‘bacaan’, asal kata qara’a. Kata al-Qur’an berbentuk masdar dengan erti isim maf’ul iatu maqru’ (dibaca). 

Dalam al-Quran ada pemakaian kata ‘Quran’ seperti ayat 17 dan 18 surah al-Qiyaamah. Firman Allah bermaksud: " Sesungguhnya Kamilah yang berkuasa mengumpulkan Al-Quran itu (dalam dadamu), dan menetapkan bacaannya (pada lidahmu); Oleh itu, apabila Kami telah menyempurnakan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu; "

[Surah Al-Qiyāmah : 17 & 18] 

Kemudian dipakai kata ‘Quran’ untuk al-Quran yang dikenal sekarang ini. Adapun definisi al-Quran ialah: " Kalam Allah yang juga mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah."  

Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak dinamakan al-Quran seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil (Nabi Isa). Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah seperti hadis Qudsi, tidak pula dinamakan al-Quran. 

Bagaimanakah al-Quran diwahyukan? Nabi menerima wahyu mengalami pelbagai cara dan keadaan, antaranya: 

Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. 
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW tidak melihat sesuatu pun, hanya berasa ia sudah berada dalam kalbunya. (Surah Asy Syuura, ayat 51). 

[Surah Ash-Shūraá : 51] 

" Dan tidaklah layak bagi seseorang manusia bahawa Allah berkata-kata dengannya kecuali dengan jalan wahyu (dengan diberi ilham atau mimpi), atau dari sebalik dinding (dengan mendengar suara sahaja), atau dengan mengutuskan utusan (malaikat) lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah akan apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi keadaanNya, lagi Maha Bijaksana. "
[Surah Ash-Shūraá : 51] 

Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang lelaki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal kata-kata itu. 

Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. 
Cara inilah yang amat berat dirasakan Nabi. Kadang-kadang pada keningnya keluar peluh walaupun ketika wahyu itu turun pada musim sejuk yang teruk. Ada kalanya, unta yang Baginda tunggangi terpaksa berhenti dan duduk kerana berasa amat berat apabila wahyu itu turun. 

Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang lelaki seperti keadaan di atas, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini disebut dalam ayat 13 dan 14 surah An-Najm. 

[Surah an-Najm : 13~14] 

" Dan demi sesungguhnya! (Nabi Muhammad) telah melihat (malaikat Jibril, dalam bentuk rupanya yang asal) sekali lagi, Di sisi "Sidratul-Muntaha; " 
[Surah an-Najm : 13~14] 

Al-Quran diturunkan beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah al-Quran diturunkan secara beransur-ansur itu ialah: 

1. Lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan dan larangan sekiranya ia diturunkan sekali gus secara banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat Aisyah. 

2. Antara ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya al-Quran diturunkan sekali gus. (Ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh). 

3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa yang berlaku akan lebih mengesankan dan berpengaruh di hati. 

4. Memudahkan penghafalan. 

Orang musyrik bertanya mengapakah Al-Quran tidak diturunkan sekali gus seperti disebut dalam al-Quran ayat 32, surah al-Furqan. " Mengapakah al-Quran tidak diturunkan kepadanya sekali gus? " Dijawab dalam ayat itu sendiri: " Demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu." 

[Surah Al-Furan : 32 ]

Ada antara ayat itu jawapan daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan. Ini sebagaimana dikatakan oleh lbnu ‘Abbas. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau al-Quran diturunkan sekali gus. 

Ditinjau dari segi masa turunnya, maka al-Quran itu dibahagi kepada dua iaitu ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Ayat yang diturunkan di Makkah atau sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah dinamakan ayat Makkiyyah. 

Ayat yang diturunkan di Madinah atau selepas Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pula dinamakan ayat Madaniyyah. 

Ayat Makkiyyah meliputi 19/30 daripada isi al-Quran terdiri atas 86 surah, sedangkan ayat Madaniyyah meliputi 11/30 daripada isi al-Quran terdiri atas 28 surah. Perbezaan ayat Makkiyyah dengan ayat Madaniyyah ialah ayat Makkiyyah pada umumnya pendek, sedangkan ayat Madaniyyah panjang. Ayat Madaniyyah berjumlah 1,456 dan ayat Makkiyyah 4,780 ayat. Dalam ayat Madaniyyah ada perkataan " Ya ayyuhalladzi na aamanu " dan sedikit sekali perkataan " Yaa ayyuhannaas "’, sedangkan dalam ayat ayat Makkiyyah adalah sebaliknya. 

Ayat Makkiyyah pada umumnya mengandungi hal berhubung keimanan, ancaman dan pahala, kisah umat terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti. Ayat Madaniyyah mengandung hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau duniawi seperti hukum kemasyarakatan, ketatanegaraan, perang, antarabangsa dan antara agama.

Sempena peristiwa Nuzul Al Quran dan bulan Ramadhan yang mulia, marilah kita bersama-sama memperbanyakkan bacaan Al Quran dan menghayati isi kandungannya. Di harapkan, kita semua beroleh pahala yang besar dan diampunkan dosa-dosa yang silam. Akhir sekali, ayuh bersama-sama kita merebut peluang yang masih berbaki di bulan ini agar taqwa yang dicari sejak awal bulan lagi dikurniakan oleh Allah kepada kita semua. Semoga kita semua sentiasa di bawah rahmat Allah. Aamiin

Senin, 22 Juli 2013

Melahirkan dan Menciptakan “Kebudayaan” di Bulan Ramadhan

Kebudayaan, sederhananya tertangkap oleh saya sebagai sebuah rutinitas berkelanjutan, yang muncul dilatarbelakangi tradisi dari masyarakat setempat. Bisa saja tradisi yang terus-menerus dilakukan suatu masyarakat tertentu, pada masanya dikenali sebagai kebudayaan masyarakat di masa depan. Negara kita terkenal dengan heteregonitas kebudayaannya, beraneka-ragam tradisi yang melatar-belakanginya, juga bagian dari identitas bangsa; Indonesia.
Kebhinekaan Tunggal Ika, menjadi tak terbantah. Kita mengenal kebudayaan Rantau Kuantan, Sumbar, jambi ,Batak dan lain sebagainya. Berbeda-beda pula tradisi yang melekat di antara hiruk-pikuk keindahan suku, ras dan agamanya. Tentu, hal tersebut menjadi “mutiara” kebudayaan yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang dihuni penganut agama Islam terbesar di dunia. Tentu kita patut bersyukur karenanya.
Sebagai bangsa yang sedang dan masih merangkak menuju gerbang kemajuan, Indonesia tak luput dari serbuan arus modernisasi, globalisasi bahkan gempuran ideologi. Hal itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Inilah yang disebut sunnatullah, mau tidak mau, kita harus menghadapinya. Lantas bagaimana mungkin, dulu, ketika agama Islam masuk ke Indonesia begitu elastis tanpa mengurangi substansi nilai kebudayaan yang teramat eksotis. Belakangan pada fase perkembangan, wajah Islam mendekati teror yang maha menakutkan. Jika benar demikian, apa sebabnya?
Mari kita tengok ke belakang sebentar, menapak-tilasi proses sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Bagaimana sebuah ajaran luhur didekatkan dengan cara-cara yang lembut, penuh kasih-sayang tanpa harus melakukan pembantaian. Bagaimana para Wali Allah menyusupkan dengan halus ajaran Islam ke sektor kebudayaan, kesenian, ekonomi serta adat-istiadat masyarakat dan lain sebagainya, yang notebene sebelumnya pemeluk agama Hindu, Budha serta Kepercayaan dan sejenisnya.
Bagaimana para delegasi Allah berdakwah melalui tahapan-tahapan yang diajarkan oleh Kitab Suci. Dengan hikmah, perkataan yang baik dan jika memang harus melalui sebuah perdebatan, maka dilakukan perdebatan yang baik pula. Pun jika dihadapakan oleh sebuah situasi yang menghendaki keterpaksaan (pertempuran), diwajibkan untuk bertahan-melawan. Namun Islam tidak mengajarkan permulaan yang menghinakan (memulai peperangan).
Dan bagaimana para Ulama (di Indonesia) hingga kini mengembangkan metode dakwah yang semakin elegan; Pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang tidak saja menguatkan pondasi akan tetapi membangun benteng ketauhidan, keimanan serta keislaman. Pesantren-pesantren pun menjamur seantero nusantara karena kearifannya. Namun perlu diingat, pesantren juga tak luput dari incaran kaum ekstrimis. Tak lain tujuannya, membabat-habis (baca: menghentikan) generasi-generasi pewaris Nabi. Menyeret para generasi untuk memahami ajaran Islam secara tekstualis, formalis, instan dan tak mengenal kelembutan.
Ada istilah, mereka (orang-orang Islam Indonesia) yang kagetan terhadap segala perubahan jagat raya dilaqobi dengan Islam Anyaran. Mungkin terjemahan bebasnya begini; orang Islam yang baru mengenal Islam. Coba kita amati, betapa dahsyatnya pengaruh agama terhadap manusia. Baru mengenal saja, sudah menularkan perasaan bangga. Apalagi jika menjadi pemeluknya. Sebuah analogi; jika kita memeluk sesuatu, sudah tentu kita harus mengenalnya lebih dulu. Kita tahu bahwa ada sebatang kayu yang terbakar, apakah kita akan serta-merta memeluk batang kayu yang sedang terbakar itu? Tentu saja akal-sehat kita akan memprosesnya; memeluk batang kayu yang terbakar api atau tidak sama sekali. Menyikapi hal ini, kembali pada sebuah konsekuensi.
Lain halnya jika kita tahu sebuah bantal. Pada situasi tertentu, kita tanpa sadar sering memeluknya (saat tidur). Bantal menciptakan rasa  salah-satunya hangat. Kita nyaman memeluk bantal. Karena bantal tidak berbahaya, jauh lebih aman ketimbang kayu yang terbakar api. Pada konteks ini, sebagai pemeluk agama Islam tentu tidak hanya sekedar mengenal Islam. Dari kulitnya saja kita dapat menerjemahkan bahwa Islam itu mendamaikan. Lalu mengapa bagi yang lain terasa menakutkan?
Apakah kemunculan Islam bertujuan untuk merusak, menindas, menteror dan menakut-nakuti orang yang belum mengerti? Lalu mengapa bangsa Indonesia lambat-laun –seperti—kehilangan watak keramah-tamahannya? Bukankah keramah-tamahan itu adalah bagian dari Islam? Bukankah kebudayaan itu akumulasi dari kebaikan-kebaikan yang bersifat falsafi? Bukankah islamisasi di Indonesia pendekatannya hampir serupa dengan apa yang dilakukan Nabi? Apa yang salah dengan wajah Islam saat ini?
Ironisnya, di bulan suci Ramadhan, perlahan-lahan kita seperti dipaksa untuk mentoleransi sebuah cikal-bakal “kebudayaan” yang entah dari mana asal-muasalnya. Bergerombol orang-orang yang mengaku beragama Islam, menyerang tempat hiburan malam dengan dalih menjaga kemuliaan bulan Ramadhan. Mereka merusak tempat orang mencari nafkah, meneriakkan kalimat takbir sebagai propaganda penyerbuan, mengintimidasi orang-orang (mungkin saja sesama umat Islam) agar menghormati agama Islam.
Jika pun gerombolan itu berdalih sedang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, lantaran mengendus tempat-tempat yang diklaim tidak bermoral, apakah seperti itu cara Nahi-Munkar yang diajarkan agama Islam, terlebih dakwah yang diajarkan Nabi? Pernahkah kita membaca sejarah, dakwah atau syiar Nabi dengan cara-cara seperti gerombolan tadi? Peristiwa Fathul Makkah saja, kalimat yang digelorakan pasukan Nabi bukanlah takbir. Kemudian (ini yang terpenting), Nabi menghormati kaum yang belum bersedia memeluk agama Islam dengan tetap melindunginya. Islam mendatangi Makkah dengan kebijakan, kelembutan dan kedamaian. Tidak dengan bom bunuh diri, ancaman, kekerasan ataupun penindasan.
Kita pun –seolah-olah—akhirnya menjadi latah; sweeping, intimidasi, teror dan tindakan pemaksaan untuk menghormati bulan suci Ramadhan menjadi sebuah kebudayaan. Kebudayaan yang diciptakan sebagai legalisasi kebiasaan yang sangat arogan. Kebudayaan yang diam-diam dilahirkan –sesungguhnya—untuk merusak substansi ajaran Islam. Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, hilang sudah nilai-nilai ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Lebih memprihatinkan lagi, propaganda amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan sebagian gerombolan itu tidak pernah sekalipun menyentuh wilayah kekuasaan (pemerintah). Padahal, pemerintah justru yang mampu mengendalikan sirkulasi dinamika tadi. Mungkin, ini harapan saya pribadi, jika amar ma’ruf nahi munkar ditujukan kepada para pejabat korup, barangkali dapat ditoleransi. Misal, melakukan sweeping dan memberikan sanksi moral terhadap pejabat atau wakil rakyat yang istiqomah mempraktekkan amaliah suap dan korupsi. Menegaskan aparat hukum untuk melaksanakan supremasi hukum tanpa tebang-pilih. Namun secara naluri, saya memilih cara yang lebih manusiawi.
Maka di kesempatan Ramadhan ini, sebaiknya gerombolan yang mengaku beragama Islam yang gemar melakukan dakwah kekerasan, pemaksaan dan perusakan, mulai belajar bertafakur. Sehingga tidak bertindak ngawur dan tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara melantur. Belajar mengenali lebih dulu dasar-dasar metodolgi dakwah dengan sungguh-sungguh. Belajar menciptakan kebiasaan atau perilaku (dalam tahap tertentu bisa saja nanti dianggap sebagai kebudayaan) yang Islam rahmatan, agar tidak kumatan. Masing-masing belajar bercermin diri sebelum bengak-bengok takbir dan mengintimidasi.
Sebelum menuntaskan, saya secara tak sengaja menemukan kalimat yang luar biasa, nasehat dari Almaghfurlah Gus Dur Rohimahullah. Sebagai permulaan dari proses belajar beramar ma’ruf dan bernahi munkar di bulan suci Ramadhan, tidak ada salahnya gerombolan islami tadi belajar ngaji dan segera mempraktekkan nasehat ini; “jika kita merasa muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.”